Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Pemekaran di Seluruh Indonesia Pada Era Otonomi Daerah
Reformasi di Indonesia telah mengakibatkan dampak yang besar terhadap pemerintahan di daerah. Reformasi telah mendorong terjadinya perubahan, antara lain kebijakan pemerintah daerah harus mempunyai standar pertanggunggugatan (accountability) yang tinggi dan dapat diandalkan implikasinya. Pemerintah Daerah memberikan pelayanan yang lebih efektif dan efisien dalam keterbatasan anggaran yang ada, selain itu pemberian otonomi kepada pemerintah daerah dilandasi oleh prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi yang nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Selain itu otonomi daerah berprinsip otonomi yang bertanggungjawab yaitu otonomi yang dalam penyelenggaraannya benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Menurut Suwandi (2000 :12) secara filosofi otonomi daerah mempunyai pengertian sebagai berikut :
1. Eksistensi Pemda adalah untuk menciptakan kesejahteraan secara Demokratis.
2. Setiap kewenagan yang diberikan ke daerah harus mampu menciptakan kesejahteraan dan demokrasi.
3. Kesejahteraan dicapai melelui pelayanan publik. Pelayanan publik ada yang bersifat pelayanan dasar (basic services) dan ada yang bersifat pengembangan sektor unggulan (core competence).
Di dalam Undang-undang mengenai Keuangan Negara Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi dan Nepotisme, terdapat penegasan dibidang pengelolaan keuangan yaitu bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan negara adalah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan, dan kekuasaan pengelolaan keuangan negara dari Presiden sebagian diserahkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku Kepala Pemerintahan Daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Ketentuan tersebut berimplikasi pada pengaturan pengelolaan keuangan daerah, yaitu bahwa Gubernur/Bupati/Walikota bertanggungjawab atas pengelolaan keuangan daerah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan daerah. Dengan demikian pengaturan pengelolaan dan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah ataupun penyusunan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan daerah melekat dan menjadi satu dengan pengaturan pemerintahan daerah sebagaimana diamanatkan pada pasal 194 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pada hakekatnya pemberian kekuasaan di bidang pengelolaan keuangan daerah merupakan salah satu unsur penting dalam mewujudkan cita-cita otonomi daerah. Namun adanya berbagai kendala dan permasalahan yang terjadi telah mengakibatkan hal-hal yang kontraproduktif terhadap upaya untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai kebijakan dan praktek-praktek pengelolaan keuangan daerah. Secara umum permasalahan di bidang administrasi dan manajemen keuangan daerah terkait dengan persepsi, kebijakan, dan strategi operasional pelaksanaan desentralisasi fiskal.
Pada tataran operasional di jajaran pemerintah daerah persepsi terhadap desentralisasi fiskal lebih kepada hak-nya dibandingkan kewajiban-nya. Artinya apa yang terjadi selama ini, pemerintah daerah lebih menuntut jumlah dana perimbangan yang lebih besar dan pembebanan kepada masyarakat yang kurang memperhatikan regulasi maupun ekonomi biaya ketimbang bagaimana mengelola keuangannya secara relatif lebih efektif dan baik sehingga mampu menunjang siklus pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Alokasi belanja aparatur masih memegang porsi yang besar sehingga menyulitkan upaya peningkatkan kinerja pelayanan kepada masyarakat. Indikasi ini menunjukan lemahnya kapasitas manajamen pengelolaan keuangan daerah akibat keterbatasan dalam mempersepsikan kebijakan keuangan disamping kemampuan teknis di bidang keuangan daerah.
Demi memastikan penggunaan dana oleh daerah dapat berlangsung sebagaimana yang diharapkan, yakni dapat meningkatkan kinerja pembangunan daerah dan kemakmuran masyarakatnya, kebijakan desentralisasi fiskal membutuhkan regulasi dan instrumen serta pembinaan yang lebih intensif yang dapat memandu dan mengarahkan pengelolaan keuangan daerah agar memenuhi kriteria pengelolaan yang efektif dan efisien, dengan mengutamakan kepentingan publik. Komunitas masyarakatpun telah menyuarakan tuntutan yang menghendaki agar pemerintah daerah seyogyanya mengelola keuangannya secara lebih baik, lebih transparan, dan akuntabel yang semuanya itu dapat dicapai manakala profesionalisme aparatur pengelola keuangan daerah termasuk para pengambil keputusan memahami makna dan hakekat keuangan daerah yang bercirikan prinsip-prinsip keuangan publik.
Menurut Vista & Baylon (Wasistiono, 2005:7), secara umum, pelaksanaan desentralisasi fiskal mencakup transfer tanggungjawab pengeluaran dan pendapatan dari pemerintah pusat kepada pemerintah subnasional, dan bentuk desentralisasi fiskal antara lain :
1. Pembiayaan sendiri atau menutupi biaya melalui pengenaan retribusi (user charges).
2. Pembiayaan bersama atau produksi bersama dengan sektor swasta.
3. Perluasan pajak lokal dan pendapatan bukan pajak.
4. Transfer antar pemerintah.
5. Pinjaman lokal.
Jadi pencapaian tujuan desentralisasi fiskal memerlukan kapabilitas Pemerintah Pusat dalam memberikan fasilitas dan pengawasan serta penegakan hukum. Selain itu prinsip money follows function harus dilaksanakan secara konsisten dan secara eksplisit tertuang di dalam pasal-pasal baik pada UU Nomor 32 Tahun 2004 maupun UU Nomor 33 Tahun 2004. Sehingga tercapai keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam administrasi dan pengelolaan keuangan daerah, menjamin kesinambungan kebijakan fiskal dalam konteks kebijakan ekonomi makro dengan tetap memberikan ruang bagi Pemerintah Pusat untuk mengadakan koreksi atas ketimpangan antar Daerah, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal dan horisontal; meningkatkan efisiensi pengalokasian sumber daya nasional maupun kegiatan Pemerintah Daerah; memenuhi aspirasi dari Daerah, memperbaiki struktur fiskal, dan memobilisasi pendapatan secara regional maupun nasional termasuk upaya peningkatan sumber-sumber pendapatan daerah yang proporsional dan rasional; meningkatkan akuntabilitas, transparansi, dan efektifitas pengelolaan keuangan daerah serta partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di sektor publik; memperbaiki keseimbangan fiskal antar Daerah dan memastikan adanya peningkatan kualitas pelayanan masyarakat di Daerah, meningkatkan pelayananan umum kesejahteraan sosial bagi masyarakat dengan memperjelas hak dan kewajiban pemerintahan dan masyarakat dalam proses pembangunan daerah yang berkesinambungan
Transparansi dan akuntabilitas anggaran daerah merupakan persyaratan utama untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan bertanggungjawab. Penyusunan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran harus dilakukan secara transparan dan akuntabel. Hal itu mengandung makna bahwa seluruh proses penyusunan harus semaksimal mungkin dapat menunjukan latar belakang pengambilan keputusan dalam penetapan arah kebijakan umum, skala prioritas dan penetapan alokasi serta distribusi sumber daya dengan melibatkan partisipasi masayarakat. Oleh karenanya dalam proses dan mekanisme penyusunan anggaran harus jelas siapa yang bertanggung jawab, apa yang dilandasan pertanggungjawaban baik antara eksekutif dan DPRD, maupun di-internal eksekutif itu sendiri.
Selain itu sebagai instrumen pertanggunjawaban maka dokumen penyusunan anggaran yang disampaikan oleh masing-masing satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang disusun dalam format Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD harus betul-betul dapat menyajikan informasi yang jelas tentang tujuan, sasaran, serta korelasi antara besaran anggaran (beban kerja dan harga satuan) dengan manfaat dan hasil yang ingin dicapai atau diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan yang dianggarkan. Oleh karena itu penerapan anggaran berbasis kinerja mengandung makna bahwa setiap penyelenggara negara berkewajiban untuk bertanggungjawab atas hasil proses dan penggunaan sumber dayanya.
Sejalan dengan uraian diatas Pemerintah Kabupaten/Kota Pemekaran di Indonesia sebagai daerah otonomi yang relatif masih muda berdiri harus berupaya dan berusaha menggali berbagai sumber dana dan mengalokasikan dana tersebut kepada sektor-sektor yang dipandang penting dan mampu meningkatkan laju ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
TEMPAT DOWNLOAD KLIK HERE
Reformasi di Indonesia telah mengakibatkan dampak yang besar terhadap pemerintahan di daerah. Reformasi telah mendorong terjadinya perubahan, antara lain kebijakan pemerintah daerah harus mempunyai standar pertanggunggugatan (accountability) yang tinggi dan dapat diandalkan implikasinya. Pemerintah Daerah memberikan pelayanan yang lebih efektif dan efisien dalam keterbatasan anggaran yang ada, selain itu pemberian otonomi kepada pemerintah daerah dilandasi oleh prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi yang nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Selain itu otonomi daerah berprinsip otonomi yang bertanggungjawab yaitu otonomi yang dalam penyelenggaraannya benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Menurut Suwandi (2000 :12) secara filosofi otonomi daerah mempunyai pengertian sebagai berikut :
1. Eksistensi Pemda adalah untuk menciptakan kesejahteraan secara Demokratis.
2. Setiap kewenagan yang diberikan ke daerah harus mampu menciptakan kesejahteraan dan demokrasi.
3. Kesejahteraan dicapai melelui pelayanan publik. Pelayanan publik ada yang bersifat pelayanan dasar (basic services) dan ada yang bersifat pengembangan sektor unggulan (core competence).
Di dalam Undang-undang mengenai Keuangan Negara Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi dan Nepotisme, terdapat penegasan dibidang pengelolaan keuangan yaitu bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan negara adalah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan, dan kekuasaan pengelolaan keuangan negara dari Presiden sebagian diserahkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku Kepala Pemerintahan Daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Ketentuan tersebut berimplikasi pada pengaturan pengelolaan keuangan daerah, yaitu bahwa Gubernur/Bupati/Walikota bertanggungjawab atas pengelolaan keuangan daerah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan daerah. Dengan demikian pengaturan pengelolaan dan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah ataupun penyusunan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan daerah melekat dan menjadi satu dengan pengaturan pemerintahan daerah sebagaimana diamanatkan pada pasal 194 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pada hakekatnya pemberian kekuasaan di bidang pengelolaan keuangan daerah merupakan salah satu unsur penting dalam mewujudkan cita-cita otonomi daerah. Namun adanya berbagai kendala dan permasalahan yang terjadi telah mengakibatkan hal-hal yang kontraproduktif terhadap upaya untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai kebijakan dan praktek-praktek pengelolaan keuangan daerah. Secara umum permasalahan di bidang administrasi dan manajemen keuangan daerah terkait dengan persepsi, kebijakan, dan strategi operasional pelaksanaan desentralisasi fiskal.
Pada tataran operasional di jajaran pemerintah daerah persepsi terhadap desentralisasi fiskal lebih kepada hak-nya dibandingkan kewajiban-nya. Artinya apa yang terjadi selama ini, pemerintah daerah lebih menuntut jumlah dana perimbangan yang lebih besar dan pembebanan kepada masyarakat yang kurang memperhatikan regulasi maupun ekonomi biaya ketimbang bagaimana mengelola keuangannya secara relatif lebih efektif dan baik sehingga mampu menunjang siklus pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Alokasi belanja aparatur masih memegang porsi yang besar sehingga menyulitkan upaya peningkatkan kinerja pelayanan kepada masyarakat. Indikasi ini menunjukan lemahnya kapasitas manajamen pengelolaan keuangan daerah akibat keterbatasan dalam mempersepsikan kebijakan keuangan disamping kemampuan teknis di bidang keuangan daerah.
Demi memastikan penggunaan dana oleh daerah dapat berlangsung sebagaimana yang diharapkan, yakni dapat meningkatkan kinerja pembangunan daerah dan kemakmuran masyarakatnya, kebijakan desentralisasi fiskal membutuhkan regulasi dan instrumen serta pembinaan yang lebih intensif yang dapat memandu dan mengarahkan pengelolaan keuangan daerah agar memenuhi kriteria pengelolaan yang efektif dan efisien, dengan mengutamakan kepentingan publik. Komunitas masyarakatpun telah menyuarakan tuntutan yang menghendaki agar pemerintah daerah seyogyanya mengelola keuangannya secara lebih baik, lebih transparan, dan akuntabel yang semuanya itu dapat dicapai manakala profesionalisme aparatur pengelola keuangan daerah termasuk para pengambil keputusan memahami makna dan hakekat keuangan daerah yang bercirikan prinsip-prinsip keuangan publik.
Menurut Vista & Baylon (Wasistiono, 2005:7), secara umum, pelaksanaan desentralisasi fiskal mencakup transfer tanggungjawab pengeluaran dan pendapatan dari pemerintah pusat kepada pemerintah subnasional, dan bentuk desentralisasi fiskal antara lain :
1. Pembiayaan sendiri atau menutupi biaya melalui pengenaan retribusi (user charges).
2. Pembiayaan bersama atau produksi bersama dengan sektor swasta.
3. Perluasan pajak lokal dan pendapatan bukan pajak.
4. Transfer antar pemerintah.
5. Pinjaman lokal.
Jadi pencapaian tujuan desentralisasi fiskal memerlukan kapabilitas Pemerintah Pusat dalam memberikan fasilitas dan pengawasan serta penegakan hukum. Selain itu prinsip money follows function harus dilaksanakan secara konsisten dan secara eksplisit tertuang di dalam pasal-pasal baik pada UU Nomor 32 Tahun 2004 maupun UU Nomor 33 Tahun 2004. Sehingga tercapai keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam administrasi dan pengelolaan keuangan daerah, menjamin kesinambungan kebijakan fiskal dalam konteks kebijakan ekonomi makro dengan tetap memberikan ruang bagi Pemerintah Pusat untuk mengadakan koreksi atas ketimpangan antar Daerah, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal dan horisontal; meningkatkan efisiensi pengalokasian sumber daya nasional maupun kegiatan Pemerintah Daerah; memenuhi aspirasi dari Daerah, memperbaiki struktur fiskal, dan memobilisasi pendapatan secara regional maupun nasional termasuk upaya peningkatan sumber-sumber pendapatan daerah yang proporsional dan rasional; meningkatkan akuntabilitas, transparansi, dan efektifitas pengelolaan keuangan daerah serta partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di sektor publik; memperbaiki keseimbangan fiskal antar Daerah dan memastikan adanya peningkatan kualitas pelayanan masyarakat di Daerah, meningkatkan pelayananan umum kesejahteraan sosial bagi masyarakat dengan memperjelas hak dan kewajiban pemerintahan dan masyarakat dalam proses pembangunan daerah yang berkesinambungan
Transparansi dan akuntabilitas anggaran daerah merupakan persyaratan utama untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan bertanggungjawab. Penyusunan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran harus dilakukan secara transparan dan akuntabel. Hal itu mengandung makna bahwa seluruh proses penyusunan harus semaksimal mungkin dapat menunjukan latar belakang pengambilan keputusan dalam penetapan arah kebijakan umum, skala prioritas dan penetapan alokasi serta distribusi sumber daya dengan melibatkan partisipasi masayarakat. Oleh karenanya dalam proses dan mekanisme penyusunan anggaran harus jelas siapa yang bertanggung jawab, apa yang dilandasan pertanggungjawaban baik antara eksekutif dan DPRD, maupun di-internal eksekutif itu sendiri.
Selain itu sebagai instrumen pertanggunjawaban maka dokumen penyusunan anggaran yang disampaikan oleh masing-masing satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang disusun dalam format Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD harus betul-betul dapat menyajikan informasi yang jelas tentang tujuan, sasaran, serta korelasi antara besaran anggaran (beban kerja dan harga satuan) dengan manfaat dan hasil yang ingin dicapai atau diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan yang dianggarkan. Oleh karena itu penerapan anggaran berbasis kinerja mengandung makna bahwa setiap penyelenggara negara berkewajiban untuk bertanggungjawab atas hasil proses dan penggunaan sumber dayanya.
Sejalan dengan uraian diatas Pemerintah Kabupaten/Kota Pemekaran di Indonesia sebagai daerah otonomi yang relatif masih muda berdiri harus berupaya dan berusaha menggali berbagai sumber dana dan mengalokasikan dana tersebut kepada sektor-sektor yang dipandang penting dan mampu meningkatkan laju ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
TEMPAT DOWNLOAD KLIK HERE
0 comments:
Post a Comment
Thank you for your comment on this blog Natural BLOGGING, your comment is the best gift for me. Hopefully the success with us all. Let us exchange ideas and give feedback, criticism and constructive suggestions for our blog progress of each.